KONAWE SELATAN, A-1.INFO – Kuasa hukum guru Supriyani, Andri Dermawan menduga ada unsur kriminalisasi dalam kasus yang menimpa kliennya, seorang guru honorer di Konawe Selatan (Konsel) Sulawesi Tenggara (Sultra). Supriyani dituduh melakukan penganiayaan terhadap seorang siswa yang merupakan anak anggota polisi.
Andri menilai tuduhan tersebut tidak didukung bukti kuat, dan penetapan sebagai tersangka terkesan dipaksakan. Ia menekankan bahwa visum korban tidak menunjukkan tanda-tanda luka akibat pukulan (Sapu) seperti yang didakwakan.
“Pengacara sudah meminta supaya dilakukan rekonstruksi bagaimana sejarahnya ibu supriyani memukul, dan tidak dilakukan. Ada permintaan dari orang tua korban, kalau perkara ini selesai bayar Rp50 Juta dan tidak boleh kurang,” Jelas Andri Dermawan. Senin (28/10/2024).
Meskipun Supriyani sempat ditahan, penahanannya kini ditangguhkan dengan pertimbangan tugas mengajar dan tanggung jawab keluarga. Kasus ini menuai perhatian publik karena terdapat indikasi kejanggalan, termasuk waktu dan tempat kejadian yang tidak sinkron dengan tuduhan.
“Kenapa ini bisa terjadi? Karena ada potensi conflict of interest. Dua Institusi memproses laporan korban yang misalnya kebetulan satu kantor ini. Siapa yang bisa jamin, bahwa dia tidak cawe-cawe di dalam tidak melakukan intervensi. Pada saat datang di TKP, kenapa ada orang tua korban disana,” Tegasnya.
Masalah yang menimpa Supriyani, menurutnya mencerminkan adanya potensi conflict of interest (konflik kepentingan) karena korban dalam kasus ini adalah anak seorang anggota polisi. Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa proses hukum bisa tidak sepenuhnya objektif atau tidak adil.
Ada indikasi bahwa posisi orang tua korban sebagai anggota kepolisian mungkin mempengaruhi jalannya kasus. Beberapa pihak, termasuk Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), mengkhawatirkan bahwa kekuasaan dan hubungan institusional bisa digunakan untuk mempercepat atau memperberat proses hukum terhadap Supriyani.
Selain itu, kasus ini juga menarik perhatian publik karena dinilai seharusnya diselesaikan melalui pendekatan restorative justice, mengingat sifat masalah yang berkaitan dengan dunia pendidikan dan bukti yang dipertanyakan. Namun, proses tersebut tidak berjalan, dan kasus dilanjutkan ke ranah pengadilan tanpa adanya mediasi yang berhasil.
Sebelumnya diketahui, Kapolres Konawe Selatan, AKBP Febry Sam, memberikan klarifikasi terkait kasus Supriyani, guru honorer yang diduga melakukan penganiayaan terhadap seorang siswa yang ternyata anak dari anggota kepolisian setempat. Ia menyatakan bahwa proses penanganan kasus ini telah berjalan sesuai prosedur.
Menurut Febry, peristiwa bermula pada April 2024 saat orang tua korban melihat luka di tubuh anaknya. Awalnya, anak tersebut mengaku terjatuh, namun kemudian menyebut bahwa lukanya akibat dipukul Supriyani dengan batang sapu di sekolah.
Kapolsek setempat sempat menyarankan agar masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan dengan permintaan maaf dari Supriyani, tetapi mediasi gagal karena pihak korban merasa tidak puas dengan sikap Supriyani selama proses tersebut.
Febry juga menekankan bahwa polisi tidak melakukan penahanan terhadap Supriyani selama proses penyelidikan. Penahanan baru dilakukan setelah berkas kasus dilimpahkan ke kejaksaan, yang kemudian menahannya di Rutan Perempuan Kendari.
Kapolres membantah adanya permintaan uang dari pihak kepolisian atau keluarga korban, menyatakan bahwa insiden terkait uang hanyalah salah paham saat suami Supriyani datang ke rumah korban untuk berusaha menyelesaikan kasus ini secara damai.
Febry menegaskan bahwa meskipun terjadi kegagalan dalam mediasi, pihak kepolisian telah berusaha bertindak transparan dan objektif selama penanganan kasus ini, yang akan berlanjut di pengadilan untuk mendapatkan keputusan yang adil dan jelas bagi kedua belah pihak. (**)
Laporan : Muh Sahrul